TANAH INI DIJUAL 1000 M2...
Assholaatu khoirum
minan naum! Assholaatu khoirum minan naum!
Suara
merdu adzan mengakhiri lelapnya mimpi kaum muslimin, membangkitkan tubuh dari
pejaman pasang mata. Gemelut syaiton berparas
cantik merogoh keimanan setiap jiwa Islam. Hanya mereka yang dihiasi iman,
takkan pernah terpedaya olehnya. Karna Allah senantiasa menjaga mereka yang
slalu mengingat-Nya.
Sesegera
mungkin Ainun bangkit dari ranjang lelapnya. Ia tahu jikalau keluarganya tlah
sedari tadi bangun menyambut subuh-Nya. Usai subuhan, jadwal rutinnya adalah
berjoging bersama dengan keluarga dan teman-teman desanya. Udara pagi yang
begitu dingin tak pernah menyurutkan semangatnya untuk menjalani hari yang
slalu ia tunggu. Meski gemeretak bunyi yang muncul dari gigi-giginya kerap
mengingsutkan langkah kakinya. Namun, kini ia malah tertantang menakhlukan
dinginnya pagi buta. Kabut yang menghalangi jalannyapun tak ia hiraukan.
Di
pertengahan taman kota, telah duduk sekelompok anak muda membawa sebotol air
besar yang tengah bergantian mulut ‘tuk menggelogoknya. Mereka menyebut diri
mereka dengan sebutan ‘d’Renamsat’. Sebuah komunitas muda anak RT. 6 RW. 1 yang
tengah menunggu ketumnya.
“Pak
Ketu! Ainun..”, koar mulut mereka dari kejauhan.
Ainun
yang mendengar segera mendekati mereka yang asyik menikmati segarnya air.
“Nih,
minum, Nun!”, beri botol tersebut ke arah Ainun yang terlihat lelah tak
berdehidrasi.
“Matursuwon! Kalian memang pengertian rek! Endi
jajane?”, candanya dengan senyum yang kemalu-maluan dengan menunjukkan wajah
lucu kemerah-merahan.
Semua
tertawa melihat wajah nomu kyowo itu,
sedang Ainun malah memasang muka bingung, innocent,
membuat tawa keras mereka menjadi-jadi.
“Teman-teman
saya ingin menyampaikan kabar nih!”, tawar seorang gadis berumur tujuh belas
tahun memecah tawa bahak mereka.
“Apa
mbak?”, tanya serempak mereka sangat penasaran.
“Kemarin
aku nemu lomba apik di warnet! Saat
aku lihat, ternyata deadline pendaftaran hari itu terakhir! Sayang sekali kalau
kita tidak bisa ikut! Langsung ja aku
registrasikan kalian online. Aku langsung pergi juga ke bank yang
memungkinkan”, dalih Potteri panjang.
“Haaa?”,
kaget semua anak-anak d’renamsat.
“Lomba
apa itu mbak? Apa mbak ndak rugi uda daftarin kami pake uang mbak sendiri?”, tanya
Ainun keheranan.
“Gak
kok dik! Mbak yakin kalian bisa ngasih lebih! Tebus uang mbak dengan kemenangan
kalian! Gondol juara satunya dik! Kalian pasti bisa!”, semangat Potteri.
“Amiin...
Insya Allah mbak Potteri...”, balas semangat Potteri dengan kompak.
“Oh
sampe lupa! Lombanya tentang menumbuhkan minat baca anak-anak. Nah, adik-adik
kecil di kampung kan banyak, merekalah yang nantinya dijadikan target operasi.
Lomba ini sangat bergengsi lho dik! Jadi kalian harus berjuang semaksimal
mungkin! Seminggu lagi adalah hari-H lomba. Kita akan berpresentasi dihadapan
juri tentang aktivitas kita diminggu ini untuk TO kita!”, sambungnya luas
bersemangat.
“Nun,
yo pulang!”, teriak seorang mas-mas gendut dari kejauhan.
“Iya
mas!”, sahut Ainun keras.
“Iya
wes, ayo kita pulang bareng mas-nya Ainun sekalian! Nanti kita ketemu lagi di
rumahnya Ainun buat diskusiin lombanya.”, beranjak dari duduk dan pembicaraan
lebarnya.
***
Senja
belum juga mau turun, seolah ia ingin menyaksikan anak manusia yang tengah
berdiskusi serius masalah kampungnya. Langit jingga kekuning-kuningan menemani
mereka dalam sebuah forum yang dipimpin Pak Ketu d’Renamsat. Kemudian ia
serahkan kepada kakak yang lebih tua darinya untuk menyampaikan maksudnya
sekali lagi. Dalam rapat yang berjalan tertib, hampir setiap jiwa menyampaikan
opini mereka. Jingga yang terganti abu-abu hingga hitampun memaksa mereka untuk
mengakhiri rapat dengan kesimpulan satu maksud dan tujuan.
“Sekretaris
tolong bacakan notulennya!”, titah Pak Ketu.
“Hasil
rapat senja ini tanggal 13 Februari 2008. Pertama, perencanaan pembangunan
perpus kecil untuk adik-adik kampung. Kedua, penggalangan buku untuk pemenuhan
kebutuhan perpus melalui acara ‘Amen Buku’ ke tiap-tiap rumah warga. Ketiga,
mengadakan acara jalan sehat untuk adik-adik. Dimana setiap pos, adik-adiknya
diminta untuk membaca bacaan yang menarik bagi dirinya. Untuk doorprize-nya
akan diberikan kepada mereka yang berani membaca dan menjawab pertanyaan dari
sebuah bacaan tersebut. Selesai”, baca Nire tegas selaku sekretaris yang
mendampingi Ainun.
“Ok.
Siap-siap untuk besok. Kita semua akan perjuangin baris bernomor dua dan tiga
untuk dapatkan baris bernomor satu! Cemungut cemungut!”, sahut Potteri dengan
kepalan tangan yang ia gerakkan ke atas bawah lebih tinggi dari pundaknya.
“Alhamdulillah.
Rapat hari ini sudah selesai. Mudah-mudahan membawa manfaat dan semoga apa yang
kita inginkan dapat segera terwujud. Amiin. Al-fatihah...”, tutup Ainun dengan
doa induknya Al-Qur’an.
“Siapa
kita?”, tanya Ainun sebagai yel-yel penyemangat d’Renamsat.
“d’Renamsat!
Semangat merubah hal kecil untuk menuju perubahan yang besar! Yes!”, jawab
mereka serentak dengan menggenggam jemari tangan temannya yang ada disamping
kemudian mengarahkannya keatas dan kedepan.
***
Seminggu
yang tepat dihari libur semester, para pemuda cilikpun memenej waktu mereka
dengan amat baik. Di tengah terik yang tepat dikepala mereka, tetap berkobar
semangat empat lima mereka demi masa depan kampungnya. Seperti tanpa lelah,
anginpun ikut menyemangati mereka dengan mengibar-ngibarkan rambut mereka,
meleburkan air keringat yang memenuhi wajah dan badan.
Man Jadda wa Jadda...
Usaha
keras mereka tidak ada yang sia-sia. Pengorbanan mereka dihargai oleh-Nya dan
makhluk-Nya. Mereka lolos dalam babak penyisihan yang super ketat. Potteri
mengucap salut pada mereka kemudian menjelaskan seberapa bergengsinya lomba
yang mereka ikuti. Lomba yang diikuti warga se-Asia Tenggara. Dari Indonesia
hanya mewakilkan dua puluh tim, yang diambil dari lima kota besar. Ainun dkk
hanya melongo mendengar tiap kata yang keluar dari mulut Potteri. Potteri
sengaja tak menceritakannya agar mereka tak hilangkan semangat dan ke-PD-annya
serta sifat optimisme. Hari yang melelahkan dengan seribu kebanggaan untuk
kampungnya.
Mereka
akan dikirim ke ibukota untuk mempertahankan gagasan ide mereka. Hanya tiga
orang yang kesana, mereka adalah Ainun, Nire dan Potteri. Tepat saat itu memang
Indonesia-lah sebagai tuan rumah untuk lomba yang diadakan tiap lima tahunnya.
Pulang-pulang
ke kampung, mereka membawa kejutan untuk kampungnya. Mereka pulang membawa
thropy dan uang senilai Rp2.500.000,-. Mereka sangat senang tak lupa bersyukur.
Thropy mereka, mereka persembahkan untuk pos di kampungnya kemudian untuk
uangnya, mereka gunakan untuk syukuran dan membangun perpus yang mereka
impikan. Perpus sederhana yang terbuat dari bambu laiknya rumah adat joglo.
Perpus yang dibangun di lahan kosong persis disamping rumah Ainun yang sudah
mendapat izin dari si pemilik tanah, namun suatu waktu tanah akan diambil jika
tlah tiba waktunya. Tanah yang berplakat ‘TANAH
INI DIJUAL 1000 m2. SHM (Tanpa Perantara) hub. 021-8807667’,
sedikit was-was. Mereka slalu berdo’a dalam keusaian sholat untuk menjadikan si
pemilik tanah yang sangat kaya bermurah hati mewakafkan sebagian tanahnya demi
kebaikan di jalan-Nya sebagai amal jariyah yang terus mengalir deras di hidup
dan matinya.
***
Langit
biru donker memunculkan setitik kehidupan cahaya indah. Separuh bulan yang
ditemani jutaan ciptaan-Nya berhias indah menghias langit kebiruan menghitam
pekat. Cahaya rembulan makin padang ditemani kertap-kertip sinar bintang yang
tiada henti mengajaknya bercumbu. Malam ini terasa amat mencekam menerjam hati.
Udara malampun begitu menyengat, menyayat kalbu anak manusia yang membentuk
baris lingkaran bulat. Mereka saling merapat ‘tuk ciptakan kehangatan diantara
dingin yang menyusup ke dalam relung-relung jiwa.
Dibawah
naungan bintang dan paruh bulan, terdengar sayup-sayup cerita dari mulut
seorang lelaki muda. Cerita yang membuat kristal-kristal bening tiap pasang
mata meleleh, hingga buih-buih air itupun jatuh membasahi pipi yang tadinya
merona dengan dibalut lebarnya mulut menyapa malam. Namun, kini puluhan wajah
itu seketika tersihir menjadi muram menyembab. Sedang si pembawa kabar itu
terus mengecapkan mulutnya, menyampaikan semua yang terjadi padanya senja tadi.
Kristal bening miliknya tlah kehabisan stok, ia tak bisa ikut menemani
teman-temannya dalam tangis jama’ah. Tangis senjanya lebih dahulu membuncah
menggoncangkan seisi rumahnya. Sekarang ia hanya bisa berserah melihat masa
depan kampungnya yang ia majukan pola pikir penerusnya, melalui perpustakaan
kecil binaannya selama lima tahun belakangan ini.
“Rek, aku juga sedih! Tapi, yang
terpenting sekarang ayo kita mikirno
jalan keluarnya bareng-bareng! ”, dalih ketum perpus usai memaparkan kenyataan
pahitnya.
Tak
satupun Ainun menemukan kata-kata yang ia cari. Ia hanya menemukan suara isak
tangis dan melihat guncangan pundak anggotanya. Ainun sangat mengerti keadaan
mereka saat itu. Ia hanya terdiam. Ia terpaku melihat plakat kecil yang ada di
depannya. Plakat yang bertuliskan ‘TANAH
INI DIJUAL 1000 m2. SHM (Tanpa Perantara) hub. 021-8807667’.
Matanya mulai berkaca-kaca, dalam benaknya pikirannya melayang-layang berkata,
‘Mungkinkah aku harus membeli luas tanah ini? Uang dari mana? Mungkinkah aku
akan memaksa Ayahku membelinya. Tapi percuma! Semua sudah terlambat! Si Pemilik
tanah tlah berhasil menjualnya..’. Pikirannya-pun membelah, ia dapatkan secuil
ide saat mengenang perjuangannya. Ainun segera mempresentasikan gagasannya
dihadapan mata sembab dan guncangan beberapa pasang pundak. Selama mulut Ainun
berkoar, secercah harapan mereka yang mendengar mulai tumbuh kembali hingga
Ainun temukan sesungging senyum setelah sesembab isak. Pikiran yang tadinya
buntu yang hanya dipenuhi kegalauan, kini kembali sedikit cerah memudahkan
mereka berpikir. Banyak sumbangan ide yang menyerbu si ketum. Bahkan seribu
inovasi-pun akan mereka kerahkan demi mempertahankan perpustakaan yang mereka
bangun dengan perjuangan keras. Mereka hanya ingin setiap tetes keringat
perjuangan mereka takkan pernah menjadi sia-sia, yang hanya akan terkenang
melalui lisan tanpa ada batangnya.
Menanamkan
sifat gemar membaca telah berhasil membuat adik-adik kampung ketagihan membaca
bacaan apapun. Kemana lagi adik-adik kampung akan dapatkan pengetahuan dan
dorongan semangat yang masih labil, naik turun. Uang kas merekapun sudah
terkumpul banyak yang rencananya mereka akan mempergunakan uang tersebut untuk
membenahi semua kekurangan perpus. Ingin sekali mereka merealisasikan tahun ini
sebagai hadiah untuk semua, terutama untuknya yang sudah berdiri selama lima
tahun bersama mereka. Yang sudah membangun rasa kekeluargaan dan pengetahuan
yang hebat.
***
Ainun
dan ayahnya mencoba menghubungi pemilik tanah tetangganya. Beliau yang dulu
berada di ibu kota kini tengah berada di Surabaya karena bisnis tanahnya yang
laku. Mereka mencari rumah si pemilik tanah kemudian bernegosiasi untuk
menjualnya hanya sebagian beberapa meter untuk keperluan kampungnya yang sudah
berdiri selama lima tahun. Ternyata langkah Ainun sudah terlambat, beliau sudah
tak miliki hak apapun untuk tanah tersebut. Tanah itu sudah dibeli cash oleh pejabat yang inginkan tanah di
daerah perkampungan. Mereka mencoba bertanya tentang pembeli tanah itu, namun
tempat tinggalnya sangat jauh dengan kota ini. Kini mereka hanya bisa pasrah,
menyerahkan semua yang dimilikinya pada Sang Pemilik Asli.
Plakat
‘TANAH INI DIJUAL 1000 m2.
SHM (Tanpa Perantara) hub. 021-8807667’ telah dicopot. Sebelum sang pemilik
tanah yang baru datang, mereka tetap bertekad untuk mendirikan perpus DBR di
wilayah yang bukan haknya. Mereka tengah menunggu beliau yang cepat atau lambat
pasti inginkan tahu tentang keadaan tanahnya. Sembari menunggu beliau, mereka
semua berinisiatif menggalang dana untuk perpus Dongeng Bumi Renamsat. Uangnya
akan dipersembahkan kepada tanah yang ditempati hanya beberapa meter itu.
Mereka bertekad untuk membeli tanah tersebut kemudian mengabdinya untuk warga
kampung.
***
Seminggu
setelahnya, datang seorang lelaki bergamis biru dan berdasi dibalut dengan jas
biru donker. Beliau terlihat sopan, ramah, dan bersahabat. Ainun dkk yang
tengah bersama adik kampung belajar, si pejabat berdecak kagum. Beliau melihat
pemandangan yang super sekali. Tak segan, beliau yang sangat menyukai anak-anak
kecil segera mendudukkan dirinya diatas rumah joglo itu. Seketika seluruhnya
terdiam namun si Bapak mengisyaratkan untuk pembelajaran tetap dilanjutkan.
Seusai itu, beliau mengajak cakap kepada Ainun beserta anak d’Renamsat.
“Anak
muda, saya bangga lihat action
kalian! Menciptakan hal baru untuk kampung yang lumayan ndeso ini.”, dalih beliau dengan senyum memandang sudut-sudut
perpus DBR.
“Maaf
bapak ini siapa?”, tanya Ainun dengan senyum sopannya.
“Saya
pemilik tanah ini, nak.”, jawabnya enteng.
“Subhaanaallah.
Maaf pak. Kami lancang mendirikan perpus di tanah bapak.”
“Sudahlah
nak, tak apa! Saya merestui usaha kalian. Saya bangga dan saya senang berada
disekitar anak-anak kecil innocent
seperti mereka”, balasnya mengarahkan pandangan ke jiwa-jiwa kecil yang
tertawa.
“Benarkah
dalih itu bapak pejabat?”, tanya Nire heran.
“Benar
cah ayu...”, goda beliau genit.
“Maaf
Pak begini. Kami sangat tidak enak hati jika perpustakaan yang berumur lima
tahun ini berdiri di tempat yang bukan hak kami. Kami berinisiatif untuk
membeli sebagian pekarangan ini. Perkenankah Bapak untuk menjual luas tanah
yang diinjak oleh kaki-kaki perpus ini?”, tanya Ainun mewakili suara kawan d’Renamsat.
“Oh,
Bersyukurlah kalian nak! Tanah yang diinjak perpus kalian ini, akan saya
sumbangkan kepada kalian, free. Saya
terharu setelah melihat pengorbanan kalian untuk masa depan adik-adik
kampung.”, kelakar beliau berkaca-kaca.
“Alhamdulillah...
Subhaanaallaah...”, jawab serentak anak d’Renamsat.
“Sungguh
mulia hati Bapak. Mudah-mudahan semua amal ibadah Bapak diterima disisi-Nya dan
mendapat pahala yang mengalir deras secara continue
sebagaimana janji Allah dalam dalil naqli-Nya.”, papar Pak Ketu dalam do’a.
“Amiin...”,
sahut semua jiwa yang merasakan kebahagiaan perpus.
Sebagaimana
yang dijanjikan oleh Allah. Man Jadda Wa
Jadda - Barang siapa yang bersungguh-sungguh, ia pasti ‘kan mendapatkannya.
Perjuangan seorang anak muda akan cintanya kepada adik-adik kampung melalui
perpustakaan tak sia-sia. Meski dia telah miliki keluarga yang berkecukupan
sangat, ia lebih merelakan diri untuk mengabdi demi kemajuan warga kampungnya
kelak. Merendah, berbaur dengan teman-temannya, menyamakan status sosial, dan
pemberi humor yang tinggi serta keimanan yang tak pernah berhenti dipupuknya.
Pribadinya anggun. Kebijakannya dalam memimpinpun patut diacungi jempol. Dalam
hidup dan selama masih ada kehidupan, semua impian patut dikejar dan patut
diraih. Tiada yang tak mungkin jika Allah menghendaki. Selama kita mau
berusaha, bersiaplah untuk menjadi sukses dan berhasil! *Amiin... :-)
*END*
***
*ALHAMDULILLAH... Ini adalah cerpen pertamaku yang diterbitkan oleh "FAM Publishing" di event *CINTA BERNILAI DAKWAH di buku ke-2 Antologi Cerpen FAM yang pertama..
Thx for my inspiring-my friends. Teman-teman Smanita :*
Hampir dijadikan naik darah! sudah transfer+kirim tanda bukti pembayaran, tapi pihak panitia merasa belum mendapati kirimanku... Tapi sekali lagi ALHAMDULILLAH... FAM masih rejekiku! Tiada niat untuk membuka e-mail dan ber-OL, tapi entah jari menegaskanku melihat laman itu dengan alasan yang logis hingga aku mendapati inbox perihal important. Hari ini adalah hari terakhir peringatan untuk mengirim bukti itu setelah diberikan toleransi dua hari. Belum terlambat! *ALHAMDULILLAH... :)
*TERIMAKASIH...
Hampir dijadikan naik darah! sudah transfer+kirim tanda bukti pembayaran, tapi pihak panitia merasa belum mendapati kirimanku... Tapi sekali lagi ALHAMDULILLAH... FAM masih rejekiku! Tiada niat untuk membuka e-mail dan ber-OL, tapi entah jari menegaskanku melihat laman itu dengan alasan yang logis hingga aku mendapati inbox perihal important. Hari ini adalah hari terakhir peringatan untuk mengirim bukti itu setelah diberikan toleransi dua hari. Belum terlambat! *ALHAMDULILLAH... :)
*TERIMAKASIH...
0 komentar:
Posting Komentar